Jumat, 16 November 2012
Menunggu Format Baru “Mekkadilaga” PTA Jambi
(Menyongsong Kesuksesan Penyelenggaraan Rapat Kerja Daerah )
Objek Wisata Kerinci, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh: Noprizal, S.HI *
“Kontrak
Objek wisata Aroma Pecco senilai Rp 45 juta, Air Terjun Telun Berasap senilai
Rp 40 juta hingga saat ini belum disetor ke Kas daerah, padahal sesuai dengan
perjanjian, uang kontrak harus diserahkan paling lambat 3 kali 24 jam setelah
perjanjian dibuat. Sementara pihak ketiga mengaku sudah menyerahkan uang
kontrak tersebut ke dinas, sedangkan untuk Danau Kerinci pihak ketiga telah
menyerahkan uang senilai Rp. 150 juta namun hanya disetor ke kas daerah sebesar
Rp. 100 juta , untuk lebih jelasnya kita tunggu kepala dinas, karena pengakuan
pihak ketiga semua urusan sudah diserahkan ke kepala dinas,’’ (Jambi
Ekspres, Sabtu, 25/08).
Objek wisata
di Kabupaten Kerinci ternyata juga tidak lepas dari masalah. Hal ini dibuktikan
dengan munculnya temuan-temuan baru dari segala sisi. Termasuk salah satunya
adalah kontrak kerjasama antara Pemda Kabupaten Kerinci dengan pihak
ketiga yang mengelola beberapa objek wisata di Kabupaten Kerinci selama
10 hari yaitu dari tanggal 19 hingga 29 Agustus 2012 bertepatan dengan Lebaran
Idul Fitri.
Sungguh
miris fenomena yang terjadi saat ini, di tengah maraknya pemberantasan korupsi,
masih ada oknum-oknum yang memanfaaatkan kesempatan untuk mencari
keuntungan.
Alhasil
semua retribusi yang dibebankan kepada pengunjung didongkrak dengan harga
selangit oleh pihak ketiga. Hal ini tentunya menjadi keluhan tersendiri bagi
para wisatawan, baik wisatawan yang berasal dari Kerinci, bahkan dari luar
kabupaten Kerinci, hingga wisatawan mancanegara.
Suatu
contoh, untuk bisa masuk ke objek wisata Air Terjun Telun Berasap, harga tiket
masuk sudah mencapai Rp 10 ribu rupiah, sedangkan untuk parkir dipasang
tarif termahal di dunia, yakni mencapai Rp. 15 ribu, tidak mustahil di objek
wisata lainnya juga diberlakukan hal seruapa. Padahal sesuai dengan Peraturan
Daerah yang ada harga tiket masuk hanya Rp 2 ribu untuk anak-anak dan Rp 4 ribu
untuk dewasa, sedangkan untuk parkir hanya Rp 2 ribu untuk roda dua dan
Rp 4 ribu untuk roda 4.
Begitu juga
di Danau Kerinci harga tiket masuk juga melambung tinggi, untuk parkir
roda dua bisa mencapai Rp 8 ribu rupiah, bahkan hanya melintas saja di jalan
raya dari Sanggarang Agung menuju Desa Tanjung Batu pun, pengguna jalan harus
mengeluarkan morogoh koceknya. Ini tentunya merupakan upaya keras dari pihak
ketiga untuk mengembalikan modal kontrak yang sudah dibayarkan kepada pihak
Dinas Disporaparbud, tentunya persoalan ini menjadi tugas besar bagi Pemda
Kerinci.
Fenomena ini
tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja, lambat laun, objek wisata di
Kabupaten Kerinci akan menjadi ladang empuk untuk meraup keuntungan. Padahal
objek wisata adalah salah satu sektor untuk yang sangat besar untuk pendapatan
asli daerah.
Objek Wisata Yang Terbengkalai
Kabupaten Kerinci memiliki banyak objek wisata yang eksotis. Beberapa objek wisata itu telah memiliki nama dan dikenal di Indonesia bahkan di dunia. Namun hingga kini, objek wisata tersebut belum mampu mendongkrak jumlah pengunjung, apa sebenarnya yang salah?
Gunung
Kerinci misalnya, selain merupakan gunung Tertinggi di Sumatera, juga merupakan
Gunung Api tertinggi di Indonesia. Hal itu tentunya bisa menjadi nilai tambah
bagi objek wisata di Kerinci.
Belum lagi
objek wisata lainnya seperti Danau Kerinci, Danau Gunung Tujuh yang merupakan
danau tertinggi di Asia Tenggara, Gunung Raya, Kebun Teh Kayu Aro yang
terbentang luas, Air Panas Semurup, Batu Besar, Masjid Agung Pendok Tinggi yang
berdiri kokoh tanpa paku, air terjun telun berasap dan beberapa air terjun
lainnya.
Meski
memiliki banyak objek wisata, namun Kerinci dan Kota Sungaipenuh hingga kini
belum juga bisa mendatangkan wisatawan dalam jumlah besar. Hingga kini jumlah
wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik yang datang berwisata ke
Kerinci belum mampu menggambarkan bahwa Kerinci adalah kabupaten atau daerah
tujuan wisata yang kaya akan objek wisata yang menarik itu.
Beberapa
persoalan yang menurut penulis menjadi penghalang wisatawan untuk datang ke
Kerinci antara lain adalah akses yang menghubungkan antara Kerinci dan Kota
Sungaipenuh dengan ibukota Provinsi Jambi dan Sumatera barat, selain jarak
tempuh, kondisi jalan yang selama ini masih penuh lubang juga menjadi alasan
tersendiri.
Kendati
demikian hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan mutlak, lantaran tidak
sedikit objek wisata di dunia ini yang jarak tempuhnya sangat jauh dari pusat
kota, namun tetap menjadi objek wisata tujuan utama dan bahkan menjadi nilai
tambah tersendiri dan menjadikan objek wisata atau tujuan wisata yang kian
menantang.
Persoalan
pelik lainnya adalah tidak tersedianya penginapan yang memadai dan hanya
membutuhkan waktu yang tidak lama dari objek wisata yang ada di Kerinci. Hal
itu tentunya akan sangat menyulitkan para wisatawan untuk bermanja-manja dan
menikmati panorama alam di Kabupaten Kerinci. Tentunya, kondisi itu menjadi
pertimbangan tersendiri bagi wisatawan untuk menghabiskan masa liburnya di
Ranah sakti alam Kerinci.
Bukan hanya
itu saja, untuk mencari souvenir khas dari Kerinci pun cukup sulit. Jika pun
ada yang bisa di dapat dengan mudah hanyalah dodol kentang di sepanjang jalan
di Lubuk Nagodang dan Siulak. Bahkan karena tidak ada pilihan lain, wisatawan
yang datang dari kota dan Kabupaten tetangga hanya bisa mendapatkan Kentang dan
ubi.
Promosi
tentunya tidak bisa dikesampingkan dari persoalan objek wisata yang hingga kini
ditengarai diurus setangah hati ini. Berkali-kali digelar event nasional
Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMPDK) sama sekali bisa disebut tidak
membawa efek yang terlalu besar bagi Kerinci. Bahkan FMPDK itu sendiri tidak
lebih dari sekedar acara seremonial yang menghadirkan berbagai tamu dari luar
daerah dan dibungkus dengan keramaian pasar malam.
Kita coba
bandingkan dengan Provinsi Tetangga Sumatera Barat. Dengan objek wisata yang
tidak jauh lebih menarik dari Kerinci, namun mampu menjadi tujuan wisata utama
di pulau Sumatera ini. Dengan pesona danau Singkarak, Provinsi tetangga itu
mampu menggelar event internasional, Tour de Singkarak, sebuah perlombaan
sepeda internasional. Kenapa Kerinci tidak bisa menggelar hal tersebut? Padahal
Kerinci juga memiliki danau dan jalan yang mengelilingi danau tersebut.
Jika itu di
Sumatera Barat, kita mencoba melihat Kabupaten Bogor, Jawa Barat, memiliki
banyak objek wisata kenamaan. Terakhir kali penulis berkunjung Ke Bogor bulan
Maret 2012 kemarin, Penulis mencoba membandingkan dengan Kabupaten Kerinci.
Mulai dari Kebun Teh, apa sih unggulnya kebun teh di Bogor tersebut, dari segi
luas, Kebun Teh di Kerinci juga tidak kalah luas dan menarik dari pada kebun
teh di Bogor. Berbicara puncak, Kerinci dan Kota Sungaipenuh juga memiliki
puncak yang yang bisa digunakan untuk wisata olahraga paralayang, Bukankah
Bukit Kayangan bisa dimanfaatkan untuk pengembangan hal yang serupa, begitu
juga dengan suhu udara yang ada di sana.
Taman safari dan beberapa taman yang dibuat oleh pengembang objek wisata merupakan salah satu point telak yang mengalahkan Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Namun hal itu tidak mustahil untuk di kejar. Kerinci yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam tentunya akan mampu menghadirkan wahana wisata seperti itu, asalkan mampu menggaet investor untuk menanamkan modalnya di Bumi sekepal tanah Syurga yang tercampak ke bumi ini.
Di Bogor penginapan yang disediakan di daerah puncak juga sangat banyak, dan yang tidak kalah pentingnya adalah hal yang sepele, berjejernya penjual buah tangan atau souvenir bagi pengunjung.
Taman safari dan beberapa taman yang dibuat oleh pengembang objek wisata merupakan salah satu point telak yang mengalahkan Kerinci dan Kota Sungaipenuh. Namun hal itu tidak mustahil untuk di kejar. Kerinci yang memiliki kekayaan Sumber Daya Alam tentunya akan mampu menghadirkan wahana wisata seperti itu, asalkan mampu menggaet investor untuk menanamkan modalnya di Bumi sekepal tanah Syurga yang tercampak ke bumi ini.
Di Bogor penginapan yang disediakan di daerah puncak juga sangat banyak, dan yang tidak kalah pentingnya adalah hal yang sepele, berjejernya penjual buah tangan atau souvenir bagi pengunjung.
Objek wisata
di Kerinci, jika tidak dikelola dengan baik, dan masih saja ada oknum yang
melakukan hal serupa dengan kejadian diatas, maka jangan pernah berharap banyak
potensi besar wisata di Kabupaten Kerinci akan mampu bersaing dengan daerah
lain.
*Bekerja di Pengadilan Agama Bangko
Admin @SensorDotCom
Note:
tulisan ini telah dipublish di Harian Pagi Jambi Ekspres, Jawa Pos Grup pada
Tanggal 06 September 2012
INSIDEN MERAH PUTIH, JANGANLAH TERULANG !
Oleh: NOPRIZAL, S.HI *
Bendera
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang secara singkat disebut Bendera Negara
adalah Sang Merah Putih.
Bendera
Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3
(dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah
berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama. Bendera tersebut sangat
dihormati dan disakralkan di negara beribu pulau ini.
Namun
berbeda dengan di Kabupaten Merangin, pada upacara peringatan HUT RI ke 67,
pada 17 agustus 2012 lalu sang Merah Putih, ternodai dengan adanya aksi yang
dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dengan melumuri bendera
dengan darah. Hal ini tentunya membuat semua pihak gerah terhadap ulah pelaku
yang dengan sengaja melecehkan bendera Negara tersebut.
Tak pelak,
kejadian ini menjadi buah bibir di semua kalangan di Kabupaten Merangin, bahkan
di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini, berbagai macam pandangan pun muncul,
mulai dari perbuatan makar yang dilakukan oleh pihak tertentu hingga untuk merusak
citra Pemimpin Merangin saat ini.
Bukan kali
ini saja, Pemkab Merangin sebelumnya juga sudah permah kecolongan terhadap
terhadap insiden Bendera. Dalam pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke 42
tingkat Provinsi Jambi bulan Mei lalu, terjadi insiden yang tidak terduga. Saat
pengibaran bendera MTQ, ketika petugas Paskibra yang akan mengerek bendera,
tiba-tiba talinya putus. Beruntung, bendera tersebut belum diikatkan kembali.
Akhirnya,
seseorang terpaksa menaiki tiang bendera untuk mengambil ujung tali yang
tertarik ke atas hingga lebih dari setengah tiang. Kondisi ini semakin
diperparah dengan teriakan para penonton yan memadati arena penyelengaraan MTQ.
Akhirnya, upacara pengibaran bendera MTQ kembali dilanjutkan, setelah ujung
tali berhasil diraih dan kemudian disambung kembali.
Harusnya
kejadian tersebut harus dijadikan sebagai bahan untuk lebih berhati-hati dan
sebuah pelajaran berarti bagi Pemkab Merangin dan seluruh Pemkab yang ada di
Provinsi Jambi ini.
Sengaja atau
tidak, insiden ini tetap memalukan, dan yang paling parah, warga tidak akan
pernah menganggap persoalan itu murni kecelakaan, melainkan warga beranggapan
ada pihak tertentu yang melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan sebuah
agenda besar.
Apalagi saat
ini, insiden ini sudah masuk ke ranah hukum di proses oleh Polres Merangin
dengan back up penuh dari Polda Jambi, karena di duga kuat ada pihak tertentu
yang sengaja memanfaatkan momentum ini untuk tujuan tertentu.
Efek Jera
Masyarakat
tentunya sangat berharap agar insiden serupa tidak akan terjadi lagi di negara
ini, khususnya di Provinsi Jambi ini, hal itu tentunya bisa terwujud jika ada
kesadaran penuh dari semua pihak akan beban dan tanggung jawabnya kepada
bendera dan negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Suatu
harapan, proses hukum harus dilaksanakan dengan sepenuhnya dan menghukum pelaku
tersebut, agar ada efek jera yang ditimbulkan, dan tidak ada kesan main-main
dengan persoalan ini. Satu hal lagi yang patut digarisbawahi, persoalan
penghormatan terhadap bendera, harus dipisahkan dengan persoalan politik, jika
dicampur adukkan, maka insiden ini akan dijadikan sebagai muara dan contoh
untuk pelaku-pelaku berikutnya.
Lebih parah,
jika insiden yang penuh dugaan kesengajaan ini dijadikan bentuk deal politik di
belakang hari. Semua pihak wajib memberikan dukungan penuh terhadap pihak
berwenang dalam hal ini Kepolisian untuk mengusut tuntas pelaku yang menciderai
sakralitas bendera Merah putih tersebut.
sakralitas bendera Merah putih tersebut.
Harapan besar dari warga agar pihak berwenang
melakukan tindakan hukum terkait pelanggaran pada insiden ini. Karena, insiden
yang memalukan sebuah wilayah secara keseluruhan, hingga membuat warga menjadi
resah. Bahkan, kalau tak segera diselesaikan bisa jadi kejadian serupa akan
terjadi pada waktu yang akan datang.
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan, disebutkan adanya larangan seperti di dalam
pasal 24 huruf a sampai e dibunyikan bahwa merusak, merobek, menginjak-injak,
membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau
merendahkan kehormatan Bendera Negara; memakai Bendera Negara untuk reklame
atau iklan komersial; Mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur,
kusut, atau kusam; Mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau
tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup
barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara. Dari pasal tersebut
sangat jelas bahwa insiden ini sudah melanggar aturan yang berlaku di negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Insiden Bendera Merah Putih pada peringatan HUT RI ke 67 ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Merangin saja, di Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya, juga terjadi insiden saat menaikkan bendera Merah putih, di kabupaten yang kaya akan sumber daya alam ini, pengibaran Bendera Merah putih dilakukan dengan terbalik.
Insiden Bendera Merah Putih pada peringatan HUT RI ke 67 ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Merangin saja, di Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya, juga terjadi insiden saat menaikkan bendera Merah putih, di kabupaten yang kaya akan sumber daya alam ini, pengibaran Bendera Merah putih dilakukan dengan terbalik.
Begitu juga
di Meulaboh Aceh Barat, diwarnai insiden jatuhnya bendera merah putih dari
ujung tiang bendera. Dalam upacara yang dipusatkan di lapangan Teuku Umar
ini bendera Merah Putih yang dikibarkan oleh anggota Paskibraka jatuh ke bawah
dari ujung tiang lantaran pengait bendera bagian atas tak terikat dengan baik.
Namun, jatuhnya bendera itu dapat segera diatasi
Dan tentunya
masih banyak lagi daerah-daerah lain yang insiden pengibaran bendera merah
putih tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Tentunya hal
ini sama sekali tidak diinginkan oleh para pahlawan yang telah dimakamkan di
makam pahlawan. Sudah lemahkah jiwa Nasionalisme kita saat ini ataukah karena
kebetulan peringatan HUT RI ke 67 tahun 2012 ini bertepatan dengan bulan Suci
Ramadhan.
Tentunya
tidak ada alasan bagi kita semua untuk menyalahkan kondisi tersebut, Bahkan Proklamasi
pun di laksanakan pada bulan Ramadhan. Kejadian di beberapa daerah diatas
tentunya masih bisa dikatakan murni kecelakaan, dan tentunya kasus tersebut
berbeda dengan melumuri darah di Bendera Negara yang terjadi di Kabupaten
Merangin.
Padahal
sudah jelas, kita saat ini berjuang untuk kesejahteraan bukan mencari
kemerdekaan. Kemerdekaan kita sudah diberikan oleh para pejuang kemerdekaan
kita 67 tahun yang lalu dan dilambangkanya dengan Bendera Merah Putih.
Sekarang
kita hanya diperintahkan untuk mengibarkan bendera tersebut, bukti kita sudah
merdeka namun kenyataannya saat pengibaran saja masih terjadi insiden.
Kejadian
tersebut di atas, seharusnya tidak terjadi di saat kita sadar bahwasanya
Indonesia yang merupakan negara tempat kita berpijak, lahir dan besar sudah
merdeka. Jiwa Nasionalismelah yang kita junjung untuk menjaga kemerdekaan kita.
jangan sampai kita bangsa Indonesia ditertawakan oleh Negara lain hanya karena
Insiden-insiden seperti ini. Mari kembalikan jiwa Nasionalisme kita. Jangan
sampai hal ini kembali terulang.
*Penulis Bekerja di Pengadilan Agama Bangko.
Admin @SensorDotCom
Ditulis Pada 23 Agustus
2012
Senin, 05 November 2012
Virus DIS, Berkembangbiak lah di Jambi
Oleh : Noprizal, S.HI
DIS (Dahlan
Iskan) sedang melejit, memberantas korupsi dengan mengeluarkan Surat Edaran agar
para direksi BUMN tidak kongkalikong dan memberi upeti kepada DPR merupakan
tindakan yang luar biasa dan berani.
Jika
tak kuat, sama saja dengan menggali lubang untuk dirinya sendiri. Namun tidak
demikian bagi Bos Media Jawa Pos ini, mengungkap kongkalikong jauh lebih
terhormat bagi dirinya dari pada bekerja dengan cara berkongkalikong dan
mempertahankan kekuasaan serta mengikuti kehendak para wakil rakyat yang tidak
berpihak untuk rakyat yang diwakilinya.
Kalangan
DPR pun dibuat galau oleh Dahlan Iskan,
betapa tidak Dahlan Iskan juga menyebutkan bahwa selama ini BUMN dijadikan sapi
perah dan ATM berjalan oleh oknum DPR, beberapa direktur BUMN juga mengakui
adanya fenomena ini.
Seharusnya,
gebrakan Dahlan – terutama untuk mewujudkan BUMN yang bersih dan untung,
disambut positif kalangan DPR. Mereka selayaknya mendukung setiap gerakan good
corporate governance atau zero corruption di setiap BUMN atau di lembaga
pemerintah. Kalau memang tidak ada anggota dewan yang kongkalikong atau minta
jatah fee, mengapa mereka marah. positive thinking tentu akan jauh lebih baik.
Atau, mari kita dukung setiap usaha pemberantasan korupsi atau gratifikasi.
Mungkinkah lahir Surat Edaran Gubernur Jambi
?
Virus
DIS yang posotif seperti ini sepertinya belum berkembang biak di Provinsi
Jambi. Hingga saat ini, kalangan eksekutif masih saja dihantui oleh rasa takut
terhadap legislatif. Entah apa penyebabnya, namun masyarakat secara umum sudah
mengetahui penyebabnya secara pasti. Bahkan dari satu warung kopi ke warung kopi
yang lainnya masyarakat awam juga memperbincangkan penyebab kecutnya eksekutif kepada
legistaltif .
Momentum
Dahlan Iskan versus DPR harusnya dijadikan oleh Pemerintah Provinsi Jambi dan
Pemerintah Kabupaten di Provinsi Jambi
sebagai awal yang baik untuk memulai memberantas korupsi dengan memutuskan
kongkalikong antara eksekutif dengan legislatif.
Provinsi
Jambi sendiri merupakan daerah yang sedang dikunjungi Dahlan Iskan kala kasus
Dahlan Versus DPR RI itu muncul ke permukaan. Namun Dahlan tetap memilih untuk
hadir ke Jambi yang sudah diagendakannya dari jauh-jauh hari.
Menurut
Penulis, era politik sebagai kekuatan terkuat sudah harus dihapuskan saat ini.
Pasalnya saat ini yang harus dinomor satukan adalah membangun ekonomi untuk
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Politisi saat ini jangan merasa paling benar, jika ada orang baik yang
ingin memberantas mata rantai korupsi, mari kita dukung bersama-sama.
Kesan
yang muncul saat ini, apabila ada orang yang muncul dan berkeinginan baik untuk
menciptakan good governance dan clean government, maka banyak pihak terutama
legislatif akan menjadikannya musuh bersama dan dijatuhkan pula secara
berjamaah. Banyak pihak akan memberikan apresiasi terhadap eksekutif yang mau
mengungkapkan fenomena pemerasan yang dilakukan oleh anggota legislatif kepada
eksekutif. Harapan penulis, virus Dahlan Iskan akan mampu merasuki tubuh
Gubernur Jambi dan Bupati-Bupati di Provinsi yang kita cintai ini.
Lahirnya
surat edaran seperti yang dilakukan oleh Dahlan Iskan tentunya akan melahirkan
semangat yang baru pula untuk memberantas korupsi di Provinsi Jambi ini. Sudah
seharusnya langkah yang diambil Dahlan Iskan berani ditiru oleh pejabat di
Provinsi Jambi ini untuk dapat mengungkapkan fenomena apa saja yang dilakukan
dalam sistem penganggaran di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di
masing Pemerintahan, baik Provinsi maupun Kabupaten.
Meski
demikian, fenomena ini sudah menjadi rahasia umum, dan cukup sulit dibuktikan.
Namun jika ada niat baik dari pelaku dan penyelenggara negara ini, maka
kejadian serupa tidak akan terjadi lagi dan tidak akan ada lagi anggota DPR
yang akan menjadikan pengesahan APBD, APBDP dan apapun namanya yang lain, sebagai
lahan empuk untuk membuat berbagai komitmen untuk menguntungkan satu pihak dan pihak
lainnya.
Dengan
terkuaknya kasus ini diharapkan berdampak positif untuk menyelamatkan aset
negara secara keseluruhan dan Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah
Kabupaten berani mengambil langkah agar semua SKPD untuk menghentikan
kongkalikong yang selama ini ditengarai masih saja dilakukan.
Kita
selaku warga Jambi juga berharap kepada Pemerintah Provinsi Jambi untuk menjadi
contoh kepada semua Pemkab di Provinsi Jambi untuk menekankan ke semua SKPD
agar tidak melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara tersebut. Jika semuanya berani melakukan hal yang sama
seperti Dahlan Iskan, maka anggota legislatif akan menjadi ketar-ketir menunggu
namanya disebut oleh kepala SKPD karena
telah menjadikan SKPD sebagai sapi perah dalam urusan penganggaran.
Atau
pun, kalau Pemerintah Provinsi Jambi dalam hal ini Gubernur, belum mampu
memberikan penekanan melalui surat edaran kepada semua SKPD dan Bupati, mungkin
saja ada Bupati yang berani mengeluarkan surat edaran demi terciptanya
pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Tidak
kalah fantastis, kalau ada pemimpin daerah yang memerintahkan kepada SKPD nya
untuk melaporkan semua model pemerasan yang dilakukan oleh anggota DPRD selama
ini. Dengan demikian bisa dilakukan pemetaan, jika semua berlaku kompak dan berani,
kekuatan apa lagi yang akan dilakukan oleh anggota dewan.
Yang
pasti jika semua komponen mulai dari Gubernur hingga Bupati memiliki komitmen
yang sama untuk memberantas korupsi, maka korupsi itu bisa musnah dari negeri
sepucuk Jambi sembilan lurah ini.
Apabila praktik tanpa kongkalikong dengan anggaran yang pengesahannya
dipersulit oleh legislatif, apakah itu semua kesalahannya dipegang oleh
Eksekutif? Tentu tidak, maka masyarakatpun akan mengetahui sebenarnya sistem
penganggaran selama ini dilakukan dengan cara kongkalikong, namun kali ini
dengan eksekutif yang menolak kongkalikong, Legislatif berlaku lain.
Masyarakat
terus berharap agar wakilnya terus berupaya untuk tidak berlaku korupsi. KPK
yang kini meminta meminta Menteri BUMN Dahlan
Iskan tak ragu melaporkan nama anggota DPR pemeras. Bila ada bukti-bukti
silakan Dahlan mengadukannya agar KPK bisa memprosesnya. Itu juga berlaku di
Jambi, proses hukum akan menanti siapa saja yang melakukan tindakan melawan
hukum tersebut. Hal ini tentunya menjadikan harapan besar terhadap wakil rakyat
dan pejabat yang ada di Jambi untuk melakukan semua tindakan sesuai dengan
aturan yang berlaku dan tidak merugikan keuangan daerah dan negara.
Pejabat
Pemberani
Gubernur dan Bupati harus segera menginstruksikan kepada
bawahannya untuk menghentikan praktik kongkalikong yang selama ini ditengarai
masih dilakukan oleh Eksekutif dan Legislatif.
Instruksi seperti ini tentunya bukanlah
instruksi tanpa resiko, bisa saja anggota legislatif meradang karena kebakaran jenggot dan lain
sebagainya. Namun pemimpin yang berani seperti ini lah yang harusnya kita
miliki saat ini, pemimpin yang hanya berpikir bagaimana mampu berbuat untuk
kepentingan rakyat, dan bukan hanya untuk wakil rakyat.
Tekanan apapun harus siap dihadapi,
meskipun nantinya harus berhadap dengan kekuatan politik. Namun kekuatan penuh
untuk memberantas korupsi dengan semangat yang luar biasa tetap menjadi nomor
satu.
Pejabat harusnya juga tidak takut
apabila harus diberhentikandengan tujuan memperjuangkan hak rakyat dan membuka
topeng korupsi yang dibungkus dengan politik anggaran. Bertahan dengan
kongkalikong dan tetap melakukan tindakan koruptif sama saja dengan
menghalalkan segara cara untuk mendapatkan kedudukan.
Namun jika bukan karena politik,
Gubernur atau Bupati mana yang berani memberhentikan kepala SKPD yang
membongkar kongkalikong legislatif dengan eksekutif? Minimal secara lisan, para pemimpin daerah
pasti akan mendukung pemberantasan korupsi. Jika diberhentikan, tidak tertutup
kemungkinan yang menonaktifkan pejabat itu adalah orang yang terlibat langsung
dalam tindakan korupsi dan tidak memiliki semangat untuk memberantas korupsi.
perlu digarisbawahi, harusnya pejabat pemberani yang mampu menanggung resiko
apapun akibat melaporkan aksi kengkalikong itu dilindungi dan dijamin oleh
Gubernur atau Bupati untuk kedudukannya ke depan. Jangan sampai pembela
kebenaran ini dijadikan sebagai korban dan dikalahkan oleh kepentingan lainnya.
Admin @SensorDotCom
PROFIL PENULIS
NOPRIZAL
adalah abdi Negara yang saat ini bertugas di Pengadilan Agama Bangko, Provinsi Jambi.
Sebelum menjadi Abdi Negara, ayah satu putri ini, sehari-hari menjadi wartawan surat kabar grup Jawa Pos yaitu Harian Pagi Jambi Ekspres.
Lahir di Desa Sebukar, Kabupaten Kerinci, membuat dirinya terasah sejak kecil untuk bergelut di dunia tulis menulis. Tidak heran jika pria berkacamata ini hingga kini tidak mau melepaskan penanya dari tempat semula, pernah pula menjadi pena yang tajam dan mampu melukai siapapun.
Semasa sekolah Suami Fitriana ini, juga telah malang melintang di dunia organisasi. Sejak MTsN dirinya sudah dipercaya menjadi Ketua Osis, dan aktif di Kepramukaan, begitu pula saat menuntut ilmu di MAN Sebukar, dirinya juga dipercaya menjadi Ketua Osis, serta aktif di berbagai kegiatan siswa lainnya.
Begitu menginjakkan kaki di dunia mahasiswa, keaktifannya di organisasi terus diasah. Ini dibuktikan dengan bergabungnya pria yang akrab dipanggil “Wo” ini dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jambi. Hingga mengantarkannya menjadi ketua HMI Cabang Jambi bidang PTKP, serta Wakil Presiden BEM IAIN STS Jambi.
Selain itu, HMI juga memperkenalkan Jurnalistik kepada dirinya. Dimulai dengan menulis di majalah HMI Komisariat Syariah, hingga menjadi salah satu perintis terbentuknya majalah Insan Cita HMI Cabang Jambi. Pasca menamatkan studi di IAIN STS Jambi, putra pasangan Drs Abdul Aziz Saleh dan Khasyani ini mulai merapikan jejak untuk bergabung ke dunia jurnalistik. Diawali dengan menjadi reporter di Harian Pagi Radar Kerinci, kemudian ditarik oleh Harian Pagi Radar Sarko (Induk Radar Kerinci) , tidakpuas sampai disitu, dirinya memilih bergabung ke Media Online Jambitoday.com, (Jawapos Grup), yang akhirnya mengantarkannya bekerja dan mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan Harian Pagi Jambi Ekspres (Jawa Pos Grup). Namun ada cerita menarik, saat bekerja di Jawa Pos Grup, penulis mencuri kesempatan untuk mengikuti ujian seleksi CPNS di Mahkamah Agung RI, berbuah manis dan akhirnya diterima dan ditugaskan di PA Bangko.
Namun dengan jiwa aktivis dan jurnalis yang masih melekat membuat Noprizal tetap aktif menulis untuk berbagai media, baik online maupun cetak di Provinsi Jambi. Bahkan hingga saat ini pria yang senang membaca ini masih aktif menjadi redaktur pada media aksara Jambidaily.com.
Terima Kasih
Admin: Edwin Eka Putra
Facebook: https://www.facebook.com/edwin.sensor
Twitter: @SensorDotCom
adalah abdi Negara yang saat ini bertugas di Pengadilan Agama Bangko, Provinsi Jambi.
Sebelum menjadi Abdi Negara, ayah satu putri ini, sehari-hari menjadi wartawan surat kabar grup Jawa Pos yaitu Harian Pagi Jambi Ekspres.
Lahir di Desa Sebukar, Kabupaten Kerinci, membuat dirinya terasah sejak kecil untuk bergelut di dunia tulis menulis. Tidak heran jika pria berkacamata ini hingga kini tidak mau melepaskan penanya dari tempat semula, pernah pula menjadi pena yang tajam dan mampu melukai siapapun.
Semasa sekolah Suami Fitriana ini, juga telah malang melintang di dunia organisasi. Sejak MTsN dirinya sudah dipercaya menjadi Ketua Osis, dan aktif di Kepramukaan, begitu pula saat menuntut ilmu di MAN Sebukar, dirinya juga dipercaya menjadi Ketua Osis, serta aktif di berbagai kegiatan siswa lainnya.
Begitu menginjakkan kaki di dunia mahasiswa, keaktifannya di organisasi terus diasah. Ini dibuktikan dengan bergabungnya pria yang akrab dipanggil “Wo” ini dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jambi. Hingga mengantarkannya menjadi ketua HMI Cabang Jambi bidang PTKP, serta Wakil Presiden BEM IAIN STS Jambi.
Selain itu, HMI juga memperkenalkan Jurnalistik kepada dirinya. Dimulai dengan menulis di majalah HMI Komisariat Syariah, hingga menjadi salah satu perintis terbentuknya majalah Insan Cita HMI Cabang Jambi. Pasca menamatkan studi di IAIN STS Jambi, putra pasangan Drs Abdul Aziz Saleh dan Khasyani ini mulai merapikan jejak untuk bergabung ke dunia jurnalistik. Diawali dengan menjadi reporter di Harian Pagi Radar Kerinci, kemudian ditarik oleh Harian Pagi Radar Sarko (Induk Radar Kerinci) , tidakpuas sampai disitu, dirinya memilih bergabung ke Media Online Jambitoday.com, (Jawapos Grup), yang akhirnya mengantarkannya bekerja dan mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan Harian Pagi Jambi Ekspres (Jawa Pos Grup). Namun ada cerita menarik, saat bekerja di Jawa Pos Grup, penulis mencuri kesempatan untuk mengikuti ujian seleksi CPNS di Mahkamah Agung RI, berbuah manis dan akhirnya diterima dan ditugaskan di PA Bangko.
Namun dengan jiwa aktivis dan jurnalis yang masih melekat membuat Noprizal tetap aktif menulis untuk berbagai media, baik online maupun cetak di Provinsi Jambi. Bahkan hingga saat ini pria yang senang membaca ini masih aktif menjadi redaktur pada media aksara Jambidaily.com.
Terima Kasih
Admin: Edwin Eka Putra
Facebook: https://www.facebook.com/edwin.sensor
Twitter: @SensorDotCom
Dari Meriam Bambu, Hingga Wisata Rohani
Oleh: Noprizal, S.HI*
DESA Sebukar, Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, masih melestarikan khasanah budaya di bulan suci Ramadhan. Bahkan di desa yang berada tepat di samping Bandar Udara Depati Parbo ini, budaya dalam rangka memeriahkan bulan yang penuh berkah ini terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, di samping budaya yang merupakan turunan dari nenek moyang, juga ada tradisi‑tradisi baru yang dimunculkan oleh generasi muda di desa yang berada di bawah kepemimpinan Zurhibban ini.
Malam 27 Ramadan misalnya, merupakan malam yang sangat dinantikan oleh warga, mulai dari anak‑anak, remaja, bahkan orang tua sekalipun. Acara yang disebut dengan "Malang duwu puluh tujuh" ini sudah disiapkan selama tidak kurang dari satu minggu oleh anak‑anak dan remaja di Sebukar ini.
Pada Malang Duwu Puluh Tujuh tersebut, setelah dilaksanakannya Salat Tarawih dan salat tasbih di masjid, anak‑anak dan Pemuda lantas menyalakan obor bambu. Dengan mengambil start di depan Mesjid Raya Sebukar, ratusan anak‑anak dan pemuda tersebut langsung mengelilingi desa, diiringi dengan tabuh gendang dan salawat. Sementara para orang tua berada di pagar rumah masing‑masing sembari memberikan semangat kepada para kawula muda tersebut.
Di rumah‑rumah penduduk pun lilin dan obor juga sudah disiapkan untuk dinyalakan oleh anak‑anak yang berkeliling kampung. Tidak itu saja, setelah mengelilingi Desa Sebukar, anak‑anak dan pemuda juga melaksanakan perang‑perangan. Yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Kelompok `'lahik Duseng'' dan kelompok "lahik lembuk", kelompok ini dibagi berdasarkan wilayah desa itu sendiri.
Perang pun di mulai, meriam bambu menjadi senjata ampuh yang dianggap sebagai senjata pemusnah massal. Meriam Bambu ini sudah disiapkan oleh anak‑anak jauh‑jauh hari, bahkan ada yang menyiapkan bambu sejak beberapa minggu sebelum Bulan Ramadan tiba. Bambu yang disiapkan tersebut disimpan oleh anak‑anak dan remaja di suatu tempat secara berkelompok. Kejar‑kejaran pun tidak bisa dihindari antar sesama anak‑anak. Selain itu, bunyi dentuman meriam bambu dan petasan terdengar tak henti‑hentinya. Dan suara teriakan anak‑anak yang melafalkan "uhah malang duwu puluh tujuh" dengan maksud memberitahukan kepada warga kalau Ramadan tahun ini sudah sampai di malam ke 27.
Perang‑perangan tersebut akhirnya harus usai karena waktu untuk tadarusan sudah masuk. Dan perang‑perangan pun diakhiri dengan salam‑salaman antar sesama peserta. Perangan ‑perangan ini pun sama sekali tidak memakan korban, karena perang ini hanya merupakan rangkaian acara seremoni yang dibungkus dalam khasanah budaya yang terus menerus dipertahankan oleh warga.
Untuk tadarusan, di Desa Sebukar, memiliki keunikan tersendiri. Berbeda dengan kampung lainnya di Kerinci. Jika di Kerinci pada umumnya tadarusan bertempat di mesjid dan musala. Berbeda halnya dengan di Sebukar. Tadarusan dilaksanakan dari satu rumah ke rumah lainnya, dan setiap malam tempat tadarus berpindah‑pindah. Ada dua kelompok tadarus
yang dari dulu hingga saat ini terus bertahan. Dua kelompok tersebut masing‑masing adalah Yayasan Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah (YPPTI) Sebukar dan Muhammadiyah.
Dua kelompok ini memberikan giliran untuk menjadi tuan rumah kepada anggotanya, setiap giliran atau setiap malamnya, terdapat 4 sampai 5 kepala keluarga yang menjadi tuan rumah, dan diantara merekalah yang menentukan di rumah siapa tadarusan itu akan digelar dan bagi kepala keluarga yang mendapatkan giliran menjadi tuan rumah menyiapkan makanan dan minuman untuk semua anggota tadarus, dan begitulah seterusnya pada setiap malam.
Ada satu lagi hal menarik lainnya, Pemerintah Desa selalu mengingatkan kepada warga Desa Sebukar untuk memasang lampu warna‑warni di sepanjang jalan raya Sebukar. Meski yang diwajibkan hanya warga yang berada di pinggir jalan raya, namun warga lainnya tidak mau ketinggalan, dan hal itu tentunya membuat semua rumah di Desa Sebukar ini memasang lampu warna‑warni sebagai pertanda dan pembeda bulan Ramadan dengan bulan‑bulan lainnya. Tak ayal di sepanjang jalan raya Sebukar, lampu warna‑warni tersusun rapi, teratur sesuai dengan warna‑warni yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Desa.
Bahkan tidak sedikit warga di Kerinci yang menyebutkan bahwa di Sebukar ini harusnya di jadikan sebagai Desa wisata Rohani, lantaran banyaknya hasanah budaya yang masih dipertahankan selama Bulan Suci Ramadan. Dan juga dukungan penuh dari Pemerintah Desa dan segenap warga juga merupakan faktor keberhasilan mewujudkan ramadhan yang penuh makna di desa ini.
Arakan‑arakan juga masih terus dilestarikan. Selama Bulan Suci Ramadan, setidaknya sebanyak 3 kali arak‑arakan dilaksanakan oleh anak‑anak, pelajar, pemuda dan mahasiswa Sebukar yang tergabung dalam Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa dan Alumni Sebukar (HIPPMAS). Dalam arak‑arakan tersebut tidak hanya pelajar dan Mahasiswa yang menuntut Ilmu di Kerinci dan Sungaipenuh yang datang, melainkan Pelajar dan Mahasiswa yang berada di luar daerah juga menyempatkan diri untuk pulang mengikuti arak‑arakan tersebut. Tiga kali arak‑arakan tersebut masing dilaksanakan pada satu hari menjelang Bulan Suci Ramadan, digelar di sore harinya.
Selain menggunakan peralatan tradisional seperti seruling, rebana, arakan‑arakan ini juga menggunakan peralatan modern seperti marching band yang dimainkan oleh pelajar‑pelajar Desa Sebukar. Selain di awal puasa tersebut, arak‑arakan digelar pada malam tanggal 27 Ramadhan dan pada pawai akbar malam lebaran.
Tribun Jambi - Selasa, 7 Agustus 2012
http://jambi.tribunnews.com/2012/08/07/dari-meriam-bambu-hingga-wisata-rohani
*Bekerja di Pengadilan Agama Bangko) (Admin @SensorDotCom)
DESA Sebukar, Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci, masih melestarikan khasanah budaya di bulan suci Ramadhan. Bahkan di desa yang berada tepat di samping Bandar Udara Depati Parbo ini, budaya dalam rangka memeriahkan bulan yang penuh berkah ini terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun demikian, di samping budaya yang merupakan turunan dari nenek moyang, juga ada tradisi‑tradisi baru yang dimunculkan oleh generasi muda di desa yang berada di bawah kepemimpinan Zurhibban ini.
Malam 27 Ramadan misalnya, merupakan malam yang sangat dinantikan oleh warga, mulai dari anak‑anak, remaja, bahkan orang tua sekalipun. Acara yang disebut dengan "Malang duwu puluh tujuh" ini sudah disiapkan selama tidak kurang dari satu minggu oleh anak‑anak dan remaja di Sebukar ini.
Pada Malang Duwu Puluh Tujuh tersebut, setelah dilaksanakannya Salat Tarawih dan salat tasbih di masjid, anak‑anak dan Pemuda lantas menyalakan obor bambu. Dengan mengambil start di depan Mesjid Raya Sebukar, ratusan anak‑anak dan pemuda tersebut langsung mengelilingi desa, diiringi dengan tabuh gendang dan salawat. Sementara para orang tua berada di pagar rumah masing‑masing sembari memberikan semangat kepada para kawula muda tersebut.
Di rumah‑rumah penduduk pun lilin dan obor juga sudah disiapkan untuk dinyalakan oleh anak‑anak yang berkeliling kampung. Tidak itu saja, setelah mengelilingi Desa Sebukar, anak‑anak dan pemuda juga melaksanakan perang‑perangan. Yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Kelompok `'lahik Duseng'' dan kelompok "lahik lembuk", kelompok ini dibagi berdasarkan wilayah desa itu sendiri.
Perang pun di mulai, meriam bambu menjadi senjata ampuh yang dianggap sebagai senjata pemusnah massal. Meriam Bambu ini sudah disiapkan oleh anak‑anak jauh‑jauh hari, bahkan ada yang menyiapkan bambu sejak beberapa minggu sebelum Bulan Ramadan tiba. Bambu yang disiapkan tersebut disimpan oleh anak‑anak dan remaja di suatu tempat secara berkelompok. Kejar‑kejaran pun tidak bisa dihindari antar sesama anak‑anak. Selain itu, bunyi dentuman meriam bambu dan petasan terdengar tak henti‑hentinya. Dan suara teriakan anak‑anak yang melafalkan "uhah malang duwu puluh tujuh" dengan maksud memberitahukan kepada warga kalau Ramadan tahun ini sudah sampai di malam ke 27.
Perang‑perangan tersebut akhirnya harus usai karena waktu untuk tadarusan sudah masuk. Dan perang‑perangan pun diakhiri dengan salam‑salaman antar sesama peserta. Perangan ‑perangan ini pun sama sekali tidak memakan korban, karena perang ini hanya merupakan rangkaian acara seremoni yang dibungkus dalam khasanah budaya yang terus menerus dipertahankan oleh warga.
Untuk tadarusan, di Desa Sebukar, memiliki keunikan tersendiri. Berbeda dengan kampung lainnya di Kerinci. Jika di Kerinci pada umumnya tadarusan bertempat di mesjid dan musala. Berbeda halnya dengan di Sebukar. Tadarusan dilaksanakan dari satu rumah ke rumah lainnya, dan setiap malam tempat tadarus berpindah‑pindah. Ada dua kelompok tadarus
yang dari dulu hingga saat ini terus bertahan. Dua kelompok tersebut masing‑masing adalah Yayasan Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah (YPPTI) Sebukar dan Muhammadiyah.
Dua kelompok ini memberikan giliran untuk menjadi tuan rumah kepada anggotanya, setiap giliran atau setiap malamnya, terdapat 4 sampai 5 kepala keluarga yang menjadi tuan rumah, dan diantara merekalah yang menentukan di rumah siapa tadarusan itu akan digelar dan bagi kepala keluarga yang mendapatkan giliran menjadi tuan rumah menyiapkan makanan dan minuman untuk semua anggota tadarus, dan begitulah seterusnya pada setiap malam.
Ada satu lagi hal menarik lainnya, Pemerintah Desa selalu mengingatkan kepada warga Desa Sebukar untuk memasang lampu warna‑warni di sepanjang jalan raya Sebukar. Meski yang diwajibkan hanya warga yang berada di pinggir jalan raya, namun warga lainnya tidak mau ketinggalan, dan hal itu tentunya membuat semua rumah di Desa Sebukar ini memasang lampu warna‑warni sebagai pertanda dan pembeda bulan Ramadan dengan bulan‑bulan lainnya. Tak ayal di sepanjang jalan raya Sebukar, lampu warna‑warni tersusun rapi, teratur sesuai dengan warna‑warni yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Desa.
Bahkan tidak sedikit warga di Kerinci yang menyebutkan bahwa di Sebukar ini harusnya di jadikan sebagai Desa wisata Rohani, lantaran banyaknya hasanah budaya yang masih dipertahankan selama Bulan Suci Ramadan. Dan juga dukungan penuh dari Pemerintah Desa dan segenap warga juga merupakan faktor keberhasilan mewujudkan ramadhan yang penuh makna di desa ini.
Arakan‑arakan juga masih terus dilestarikan. Selama Bulan Suci Ramadan, setidaknya sebanyak 3 kali arak‑arakan dilaksanakan oleh anak‑anak, pelajar, pemuda dan mahasiswa Sebukar yang tergabung dalam Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa dan Alumni Sebukar (HIPPMAS). Dalam arak‑arakan tersebut tidak hanya pelajar dan Mahasiswa yang menuntut Ilmu di Kerinci dan Sungaipenuh yang datang, melainkan Pelajar dan Mahasiswa yang berada di luar daerah juga menyempatkan diri untuk pulang mengikuti arak‑arakan tersebut. Tiga kali arak‑arakan tersebut masing dilaksanakan pada satu hari menjelang Bulan Suci Ramadan, digelar di sore harinya.
Selain menggunakan peralatan tradisional seperti seruling, rebana, arakan‑arakan ini juga menggunakan peralatan modern seperti marching band yang dimainkan oleh pelajar‑pelajar Desa Sebukar. Selain di awal puasa tersebut, arak‑arakan digelar pada malam tanggal 27 Ramadhan dan pada pawai akbar malam lebaran.
Tribun Jambi - Selasa, 7 Agustus 2012
http://jambi.tribunnews.com/2012/08/07/dari-meriam-bambu-hingga-wisata-rohani
*Bekerja di Pengadilan Agama Bangko) (Admin @SensorDotCom)
Langganan:
Postingan (Atom)