Oleh: Noprizal, S.HI*
DESA Sebukar, Kecamatan Sitinjau
Laut, Kabupaten Kerinci, masih melestarikan khasanah budaya di bulan
suci Ramadhan. Bahkan di desa yang berada tepat di samping Bandar Udara
Depati Parbo ini, budaya dalam rangka memeriahkan bulan yang penuh
berkah ini terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Meskipun
demikian, di samping budaya yang merupakan turunan dari nenek moyang,
juga ada tradisi‑tradisi baru yang dimunculkan oleh generasi muda di
desa yang berada di bawah kepemimpinan Zurhibban ini.
Malam 27
Ramadan misalnya, merupakan malam yang sangat dinantikan oleh warga,
mulai dari anak‑anak, remaja, bahkan orang tua sekalipun. Acara yang
disebut dengan "Malang duwu puluh tujuh" ini sudah disiapkan selama
tidak kurang dari satu minggu oleh anak‑anak dan remaja di Sebukar ini.
Pada
Malang Duwu Puluh Tujuh tersebut, setelah dilaksanakannya Salat Tarawih
dan salat tasbih di masjid, anak‑anak dan Pemuda lantas menyalakan obor
bambu. Dengan mengambil start di depan Mesjid Raya Sebukar, ratusan
anak‑anak dan pemuda tersebut langsung mengelilingi desa, diiringi
dengan tabuh gendang dan salawat. Sementara para orang tua berada di
pagar rumah masing‑masing sembari memberikan semangat kepada para kawula
muda tersebut.
Di rumah‑rumah penduduk pun lilin dan obor juga sudah disiapkan untuk
dinyalakan oleh anak‑anak yang berkeliling kampung. Tidak itu saja,
setelah mengelilingi Desa Sebukar, anak‑anak dan pemuda juga
melaksanakan perang‑perangan. Yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
Kelompok `'lahik Duseng'' dan kelompok "lahik lembuk", kelompok ini
dibagi berdasarkan wilayah desa itu sendiri.
Perang pun di
mulai, meriam bambu menjadi senjata ampuh yang dianggap sebagai senjata
pemusnah massal. Meriam Bambu ini sudah disiapkan oleh anak‑anak
jauh‑jauh hari, bahkan ada yang menyiapkan bambu sejak beberapa minggu
sebelum Bulan Ramadan tiba. Bambu yang disiapkan tersebut disimpan oleh
anak‑anak dan remaja di suatu tempat secara berkelompok. Kejar‑kejaran
pun tidak bisa dihindari antar sesama anak‑anak. Selain itu, bunyi
dentuman meriam bambu dan petasan terdengar tak henti‑hentinya. Dan
suara teriakan anak‑anak yang melafalkan "uhah malang duwu puluh tujuh"
dengan maksud memberitahukan kepada warga kalau Ramadan tahun ini sudah sampai di malam ke 27.
Perang‑perangan
tersebut akhirnya harus usai karena waktu untuk tadarusan sudah masuk.
Dan perang‑perangan pun diakhiri dengan salam‑salaman antar sesama
peserta. Perangan ‑perangan ini pun sama sekali tidak memakan korban,
karena perang ini hanya merupakan rangkaian acara seremoni yang
dibungkus dalam khasanah budaya yang terus menerus dipertahankan oleh
warga.
Untuk tadarusan, di Desa Sebukar, memiliki keunikan
tersendiri. Berbeda dengan kampung lainnya di Kerinci. Jika di Kerinci
pada umumnya tadarusan bertempat di mesjid dan musala. Berbeda halnya
dengan di Sebukar. Tadarusan dilaksanakan dari satu rumah ke rumah
lainnya, dan setiap malam tempat tadarus berpindah‑pindah. Ada dua
kelompok tadarus
yang dari dulu hingga saat ini terus bertahan. Dua
kelompok tersebut masing‑masing adalah Yayasan Pondok Pesantren Tarbiyah
Islamiyah (YPPTI) Sebukar dan Muhammadiyah.
Dua kelompok ini memberikan giliran untuk menjadi tuan rumah kepada
anggotanya, setiap giliran atau setiap malamnya, terdapat 4 sampai 5
kepala keluarga yang menjadi tuan rumah, dan diantara merekalah yang
menentukan di rumah siapa tadarusan itu akan digelar dan bagi kepala
keluarga yang mendapatkan giliran menjadi tuan rumah menyiapkan makanan
dan minuman untuk semua anggota tadarus, dan begitulah seterusnya pada
setiap malam.
Ada satu lagi hal menarik lainnya, Pemerintah Desa
selalu mengingatkan kepada warga Desa Sebukar untuk memasang lampu
warna‑warni di sepanjang jalan raya Sebukar. Meski yang diwajibkan hanya
warga yang berada di pinggir jalan raya, namun warga lainnya tidak mau
ketinggalan, dan hal itu tentunya membuat semua rumah di Desa Sebukar
ini memasang lampu warna‑warni sebagai pertanda dan pembeda bulan
Ramadan dengan bulan‑bulan lainnya. Tak ayal di sepanjang jalan raya
Sebukar, lampu warna‑warni tersusun rapi, teratur sesuai dengan
warna‑warni yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Desa.
Bahkan
tidak sedikit warga di Kerinci yang menyebutkan bahwa di Sebukar ini
harusnya di jadikan sebagai Desa wisata Rohani, lantaran banyaknya
hasanah budaya yang masih dipertahankan selama Bulan Suci Ramadan. Dan
juga dukungan penuh dari Pemerintah Desa dan segenap warga juga
merupakan faktor keberhasilan mewujudkan ramadhan yang penuh makna di desa ini.
Arakan‑arakan juga masih terus dilestarikan. Selama Bulan Suci Ramadan,
setidaknya sebanyak 3 kali arak‑arakan dilaksanakan oleh anak‑anak,
pelajar, pemuda dan mahasiswa Sebukar yang tergabung dalam Himpunan
Pemuda Pelajar Mahasiswa dan Alumni Sebukar (HIPPMAS). Dalam arak‑arakan
tersebut tidak hanya pelajar dan Mahasiswa yang menuntut Ilmu di
Kerinci dan Sungaipenuh yang datang, melainkan Pelajar dan Mahasiswa
yang berada di luar daerah juga menyempatkan diri untuk pulang mengikuti
arak‑arakan tersebut. Tiga kali arak‑arakan tersebut masing
dilaksanakan pada satu hari menjelang Bulan Suci Ramadan, digelar di
sore harinya.
Selain menggunakan peralatan tradisional seperti
seruling, rebana, arakan‑arakan ini juga menggunakan peralatan modern
seperti marching band yang dimainkan oleh pelajar‑pelajar Desa Sebukar.
Selain di awal puasa tersebut, arak‑arakan digelar pada malam tanggal 27
Ramadhan dan pada pawai akbar malam lebaran.
Tribun Jambi - Selasa, 7 Agustus 2012
http://jambi.tribunnews.com/2012/08/07/dari-meriam-bambu-hingga-wisata-rohani
*Bekerja di Pengadilan Agama Bangko) (Admin @SensorDotCom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar