Kamis, 01 November 2012

Bukan Dilindungi, Justru Diburu

Bukan Dilindungi, Justru Diburu
(Peringatan Hari Hak Asasi Hewan)

Oleh: Noprizal S.HI
  
    Di Negeri ini peringatan Hak Asasi Hewan (HAH) masih kurang mendapatkan perhatian khusus dan justru masih asing di telinga. Bahkan menurut hemat penulis di Provinsi Jambi ini tidak ada acara khusus yang digelar baik oleh pemerintah, lembaga terkait ataupun komunitas-komunitas penyayang satwa, jika pun ada perhelatan yang digelar, gemanya sama sekali tidak terdengar.
    Setiap 15 Oktober, di negara-negara lain, terutama negara-negara barat, selalu menyelenggarakan acara yang bertajuk hari Hak Asasi Hewan. Tak jarang aksi unjuk rasa juga digelar untuk memperingati hari hak asasi hewan ini. Aksi unjuk rasa yang digelar tidak lain hanya untuk memperjuangkan hak-hak hewan.
Tanpa disadari dilingkungan kita masih sangat banyak eksploitasi berlebihan terhadap hewan, bahkan sudah sampai ke titik penyiksaan.  Pada intinya kesadaran terhadap hak asasi hewan masih sangat rendah. Sekarang kita mencoba untuk melontarkan pertanyaan, apakah pantas jika kita membela hak asasi mereka yang telah merenggut hak asasi hidup kita manusia?
Pada dasarnya, penulis beranggapan tidak patut kita mempermasalahkan pelanggaran mereka (hewan) terhadap kita manusia karena pada dasarnya mereka diciptakan Tuhan tanpa akal dan hanya diberi insting untuk bertahan hidup.
Jika kita mau menghitung-hitung perbandingan persentase jumlah kematian manusia akibat hewan dan jumlah kematian hewan akibat ulah manusia, maka mungkin kita menemukan fakta siapa yang paling kejam diantara keduanya. Kitalah yang diberi akal, mahluk hidup paling sempurna dan dimuliakan, kitalah yang diberi tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk memelihara dan memanfaatkannya dengan bijaksana. Akal yang diberikan Tuhan yang menuntun kita membedakan yang benar dan salah untuk dapat membela hak-hak kita dan hak-hak hewan, karena kitalah pemimpin dan pemilik mereka (Khalifah/Pemimpin).
Selaku suri tauladan, Nabi Muhammad SAW, juga memberikan banyak contoh dan petunjuk kepada umatnya.  Sabda Nabi “Bertaqwalah kepada Allah dari unta ini, dan kendarailah dengan baik serta beri makan yang baik,” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Arnauth). Sabda tersebut sudah sangat jelas memberikan gambaran kepada kita selaku umatnya untuk membedakan mana penyiksaan dan mana pula pengembalaan dengan penuh kasih sayang.  Begitulah bentuk kasih sayang Rasul Allah terhadap hewan. Unta yang menjadi hewan transportasi di dataran Jazirah Arab tidak dilarang untuk diekploitasi tenaganya dalam membantu manusia. Hanya saja harus selalu mendapatkan perhatian dengan menjaga makanannya dan dirawat dengan baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, menurut Penulis, ada imbalan yang benar-benar didapatkan oleh hewan yang dieksploitasi tersebut dari sang pemilik sesuai dengan hak-hak yang ada pada hewan itu sendiri.
Secara psikologis, rasa kasihan akan pasti datang kepada kita yang menyaksikan secara langsung penyiksaan yang dilakukan kepada hewan.  Pernahkah Anda melihat ada seekor hewan, entah itu kucing, anjing, ayam atau apapun jenisnya disiksa oleh majikannya? Hingga berdarah, mengalami patah tulang hingga meraung kesakitan oleh seseorang. Jika pernah, apa yang Anda rasakan? Apakah Anda merasa  kasihan/iba/sedih seketika? Kebanyakan dari Anda pasti merasakan demikian ketika Anda menyaksikan kekerasan terhadap seekor hewan tadi dengan mata kepala Anda sendiri. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa Anda merasa kasihan?  Rasa kasihan/iba akan muncul ketika kita melihat sesuatu yang tidak diharapkan terjadi pada orang lain. Dan ini sesungguhnya sudah menjadi naluri manusia.
Kita juga pernah miris ketika mendengar makin kejinya manusia memperlakukan hewan belakangan ini. Jangankan ke hewan, ke sesama manusia pun sepertinya sudah tidak ada toleransi. Uang adalah segalanya.
Penyiksaan dan penelantaran hewan sekarang ini sudah mencapai titik puncak. Kita pernah mendengar berita tentang rusa-rusa di Monas yang kehausan, sampai komodo dan jerapah yang mati di kebun binatang Surabaya akibat makan sampah plastik, karena kelaparan.
Ironis, negeri yang dikenal sebagai negeri yang amat sangat kaya dengan hasil pertanian dan lautnya, justru masih banyak ditemukan makhluk Tuhan yang kelaparan. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membuat keadaan lebih baik? Tentu banyak yang dapat kita lakukan, hanya saja pertanyaan utamanya adalah: apa iya kita sepeduli itu sekarang ini?
Dulu, arti kata "peduli" bermakna ajakan dan uluran tangan langsung. Sekarang? kepedulian kita hanya sebatas membuat "hashtag" supaya menjadi "trending topic". Berbagai macam jenis hashtag yang berbau "save" ini dan itu bertebaran di linimasa twitter. Seolah menjadi gerakan moral yang berpengaruh langsung pada kehidupan, kita lupa bila semua itu hanya bersifat virtual. Trending topic hanya menghasilkan "popularitas" yang bersifat absurd. Bukan solusi nyata.

Terus Diburu

Dewasa ini, hewan di Provinsi Jambi mulai kehilangan lokasi yang nyaman untuk berkembang baik dan hidup dengan suasana alam yang eksotis. Harimau Sumatera misalnya, diperkirakan setiap tahun sedikitnya 51 ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) hilang dari kawasan hutan di Pulau Sumatera akibat perburuan liar. Perburuan liar itu sendiri dilakukan hanya untuk melenyapkan habitat Harimau Sumatera baik dengan cara menangkap hidup-hidup dengen jerat. Atau dibunuh dengan tembakan. Yang pasti aksi itu terjadi dimotivasi untuk mencari uang dan memperkaya individu atau kelompok tertentu.
Bukti nyata dari perburuan liar akhir-akhir ini adalah berhasilnya Polres Kerinci dan pihak BB TNKS menangkap dua pelaku  yang diduga sebagai pemburu harimau yang kini sudah menjadi salah satu ikon Provinsi Jambi. Keduanya diketahui sebagai warga Kecamatan Pancung Soal, Pesisir Selatan, yang tertangkap tangan membawa kulit harimau beserta tulang belulangnya.
Data Balai Besar TNKS menyebutkan, dari tahun 1998 hingga 2002 tercatat ada sekitar 253 ekor harimau sumatera yang diburu secara ilegal atau rata-rata ada 51 ekor harimau yang diburu, baik ditangkap hidup-hidup maupun dibunuh. Dan data menarik lainnya adalah Indonesia disebut-sebut sebagai sumber tulang harimau terbesar di dunia, dan pemasok utama bagian tubuh dan produk harimau lainnya ke negara-negara Asia Timur.  Dan tentunya tidak bisa dielakkan kalau hutan TNKS sebagai penyumbang terbesar dalam angka itu.
Bukan hanya Harimau, hewan-hewan lain juga diberlalukan demikian, burung misalnya, selain ditangkap dengan jumlah massal, burung sering kali berada diposisi paling enak namun juga paling sakit. Bisa melihat namun tak bisa keluar. Tak salah jika pepatah, ‘’Bagaikan Burung Di Sangkar Emas’’ sebagus apapun tempat berada, namun hakikat dan hak burung untuk terbang dibatasi sama sekali dirasakan hampa oleh si burung.
Menurut Penulis ada beberapa langkah serius yang harus dilaksanakan, pertama pihak-pihak terkait harus segera membuat agen-agen di bidang penyelamatan hewan saat ini, dengan merekrut tenaga sukarela dari desa ke desa, diberikan pelatihan dan disiapkan menjadi tenaga handal untuk dapat mengantisipasi terjadinya perburuan liar yang dapat menyebabkan punahnya hewan yang dilindungi.
Minimnya acara peringatan hari hak asasi hewan tentunya juga berpengaruh pada pengetahuan masyarakat terhadap hewan itu sendiri. Jika kelompok yang dimaksud sudah dibentuk maka kelompok tersebut lah yang nantinya akan dijadikan sebagai posko pengaduan jika terjadi perburuan liat terhadap satwa yang dilindungi. Tak menjadi masalah jika ada pihak pemerintah memberikan reward kepada pelapor sebagai bukti penghargaan kita terhadap kepedulian masyarakat, dan yang paling penting adalah untuk meminimalisir musnahnya hewan yang dilindungi.
Kedua, wilayah-wilayah hutan yang merupakan tempat hewan yang dilindungi benar-benar harus diduterilkan dari kehidupan warga. Kejadian ini lah yang sebenarnya sering terjadi dan mengakibatkan konflik antara manusia dengan hewan kahir-akhir ini.  Point kedua ini, selain butuh peran serta dan tanggung jawab dari aparat, juga harus didukung oleh kesadaran yang tinggi dari warga agar tidak menggunakan hutan yang dilarang untuk digarap sebagai tempat tinggal dan tempat mencari kehidupan.  Ketiga. Aparat dan instansi terkait juga jangan menutup mata dari proses penjualan dan pendistribusian hewan-hewan yang ada. Sebuah harapan besar, jika sindikat peredarannya sudaj didapat, maka itu adalah akhir dario segala-galanya dan berikan efek jera terhadap pelaku  sadis dan merugikan masyarakat dan hak asasi hewan tersebut. Sindikat-sindikat kejahatan terorganisir, kelompok-kelompok milisi dan bahkan unsur-unsur mendapat keuntungan dari penyelundupan satwa liar,
menghasilkan transaksi gelap dengan harga tinggi, dan mengakibatkan kekhawatiran serius. Para pakar hingga kini terus mendesak, pelipatgandaan upaya untuk melindungi satwa liar langka, mengadili dan memenjarakan para pemburu gelap,
Ian Douglas-Hamilton, misalnya pendiri kelompok perlindungan satwa "Save the Elephants", mengatakan, "Tiongkok sangat melindungi gajah mereka, dan gajah-gajah itu dilindungi secara ketat. Jika Tiongkok ingin mengembangkan peran kepemimpinan di Afrika, dan di negaranya sendiri sehubungan dengan perlindungan gajah, sebagian besar masalah bisa diselesaikan. Jika pembelian gading berhenti, perburuan gajah juga akan terhenti."
Terakhir, penertiban wajib dilakukan secara simultan agar hasil yang didapatkan juga bisa maksimal. Oleh karena itu, operasi penegakan hukum seperti yang
dilakukan BKSDA dan aparat terkait lainnya menjadi hal yang krusial. Diharapkan
dengan adanya berbagai operasi penertiban, laju kepunahan hewan di alam
dapat ditekan dan memberikan efek jera kepada pelaku.

*Bekerja di Pengadilan Agama Bangko


NB : Tulisan ini telah terbit di rubrik Opini Harian pagi Jambi Independen pada tanggal 16 Oktober 2012 (admin @SensorDotCom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar